Indonesia merupakan negara hukum yang berbentuk kesatuan dengan pemerintahan berbentuk republik dan sistem pemerintahan presidensial dengan sifat parlementer. Pemerintahan berbentuk republik disini berarti pemerintahan yang berasal dari rakyat dan dipimpin oleh presiden dengan jabatan tertentu. Indonesia sendiri tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan melainkan pembagian kekuasaan. Dalam dunia politik, Indonesia mempunyai perbedaan dari Negara lainnya. Yaitu mempunyai sistem politik yang khas dari kearifan lokal di Indonesia. Dengan adanya Majelis Permusyawatan Rakyat yang biasa disingkat dengan MPR, Mahkamah Konstitusi yang juga berwenang mengadili sengketa hasil pemilihan umum. Selain itu ada juga bentuk negara kesatuan yang menerapkan prinsip-prinsip federalisme seperti adanya Dewan Perwakilan Daerah, dan sistem multipartai berbatas dimana setiap partai yang mengikuti pemilihan umum harus memenuhi ambang batas 2.5% untuk dapat menempatkan anggotanya di Dewan Perwakilan Rakyat maupun di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD Kabupaten/Kota. Sejak reformasi yang terjadi di Indonesia, politik di Negara ini pun menjadi berubah. Perubahan tersebut diantaranya MPR yang saat ini telah dikurangi tugas dan kewenangannya, pengurangan masa jabatan presiden dan wakil presiden menjadi 2 kali masa bakti dengan masing-masing masa bakti selama 5 tahun, dibentuknya Mahkamah Konstitusi, dan pembentukan DPD sebagai penyeimbang DPR.
Namun sayang, Indonesia yang mempunyai sistem politik yang hebat itu justru menjadi senjata makan tuan yang menghasilkan kejahatan kerah putih yang semakin lama bukannya semakin berkurang, namun semakin parah. Masalah ini tidak hanya mengakibatkan meruginya Negara ini, namun juga mencoreng nama baik Indonesia di kancah Luar Negeri serta menderitanya rakyat Indoneisa. Contohnya saja kasus korupsi yang saat ini “tren” dan mendarah daging di dunia politik Indonesia. Koruspsi di Indonesia sendiri sudah ada sejak zaman Orde Lama atau bahkan sejak zaman penjajahan. Ironisnya, di Era Reformasi saat ini, korupsi justru semakin menggurita. Terbukti dari Indeks Persepsi Korupsi tahun 2012 yang menunjukkan Indonesia berada di posisi 118 yang sebelumnya berada di posisi 110 dari 163 negara. Indeks persepsi korupsi adalah skala dari 0 sampai 100, dengan 0 mengindikasikan level korupsi yang tinggi dan 100 untuk level yang rendah. Sedangkan Indonesia memiliki indeks persepsi korupsi sebesar 32. Mirisnya lagi Indonesia masih kalah dan berada dibawah Negara yang baru beberapa tahun merdeka, yaitu Timor Leste (33). Menurut Sekretaris Jenderal TII Natalia Soebagjo, Peringkat Indonesia sejajar posisinya dengan Republik Dominika, Ekuador, Mesir, dan Madagaskar. Secara regional, Indonesia masih kalah dengan Singapura (skor IPK 87), Brunei Darussalam (55), Malaysia (49), Thailand (37), Filipina (34), dan Timor Leste (33). Jika dilihat secara global, lima negara dengan skor tertinggi adalah Denmark (90), Finlandia (90), Selandia Baru (90), Swedia (88), dan Singapura (87). Sementara lima negara dengan skor terbawah yakni Somalia (8), Korea Utara (8), Afghanistan (8), Sudan (13), dan Myanmar (15). Dari semua bukti Korupsi ini justru menjadikan Indonesia bak “ladang uang” yang diserbu oleh hama tikus.
Tidak hanya korupsi yang membuat Negara ini menjadi “tercemar”. Masih banyak permasalahan yang merugikan Indonesia selain korupsi. Contohnya saja kasus Hukum di Indonesia yang kuat, namun lemah. Seperti yang tertera dalam pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Indonesia adalah Negara hukum”. Namun entah sengaja dilupakan atau bagaimana, Pasal tersebut justru menjadi mubadzir seiring pelaku hukum yang menjalankan praktek hukum tidak adil. Hal ini mengakibatkan ketimpangan yang begitu jelas terpampang dalam praktek hukum di Inodnesia. Maksud ketimpangan disini berarti praktek hukum yang tidak adil antara si kaya dan si miskin.
Salah satu bukti yang masih hangat untuk diperbincangkan soal permasalahan ketidak adilan ini adalah keputusan hukum kasus kecelakaan yang menimpa Anak dari Menko Perekonomian, Hatta Rajasa. Beberapa waktu lalu Majelis hakim menjatuhkan vonis enam bulan masa percobaan kepada Rasyid Amrullah Rajasa, setelah kecelakaan mobil di lintas jalan bebas hambatan pada 1 Januari silam. Kelalaian Rasyid tersebut menyebabkan orang meninggal dan luka berat. Majelis hakim menerapkan pasal 14 a KUHP tentang Pidana Bersyarat yang bertujuan sebagai wujud pencegahan agar tidak melakukan hal yang sama. Enam bulan pun mungkin akan dipotong masa penahanan, sehingga tidak genap enam bulan. Perlakuan hukum dalam kasus Rasyid ini terbilang “sederhana” karena jika dipikir-pikir, kasus ini terbilang berat karena sudah menghilangkan nyawa seseorang. Bandingkan saja dengan kasus seorang bocah di Palu Sulawesi Tengah, yang mencuri sandal seorang anggota polisi yang berujung pada dipenjarakannya si bocah tersebut hingga 5 tahun di tahun 2010 silam. Tidak hanya itu penderitaan sang bocah tersebut. Saat sang Bocah yang berinisial AAL tersebut diinterogasi, dia mendapat pukulan-pukulan yang dilayangkan pada punggung, kaki, dan tangan hingga dia mengalami lebam.
Tidak hanya permasalahan hukum yang tidak adil dan korupsi yang menggurita di Indonesia. Pelanggaran Hak Asasi Manusia ( HAM ) pun tak mau kalah dengan contoh-contoh kasus yang mewabah. Sebut saja kasus pelanggaran HAM yang terjadi antara karyawan dan majikan yang panas disebut perbudakan. Kasus ini terjadi di Tangerang, tepatnya di pabrik kuali dan panci. Lagi-lagi, rakyat yang tak berduit yang menjadi korban. Puluhan karyawan di dalam pabrik ini mengalami penganiayaan yang begitu keji dan tak berperikemanusiaan. Peristiwa ini justru menjadikan kita ingat akan penjajahan di Negeri ini puluhan tahun silam dengan program “kerja rodi” dan “romusha”. Mirisnya lagi, didalam kasus perbudakan ini juga melibatkan oknum Penegak Hukum selaku penganiaya dan penjaga para karyawan agar tidak berontak dan kabur. Apakah pantas, Penegak Hukum yang harusnya mengayomi rakyat justru menjadi penyerang rakyat? Hingga saat ini kasus tersebut masih dalam proses dan pihak kepolisian juga masih memburu 2 mandor yang terlibat dalam kasus tersebut. Kasus ini jg membuat pemerintah menjadi sigap, namun sedikit terlambat. “Menurut saya yang seperti ini kan berpotensi seperti gunung es. Nah jadi memang kalau kita serius seluruh aparat pemerintah Depnaker atau Disnaker dan semua, maka perusahaan-perusahan kecil itu harus tetap diperiksa," kata ketua BNP2TKI Jumhur Hidayat.
Inilah Potret Negeri ini yang merupakan Negara besar sarat akan kejahatan yang merugikan banyak orang dan Negara Indonesia sendiri. Masih banyak kejahatan politik merugikan banyak kalangan yang belum terlihat jati dirinya. Masyarakat Indonesia tidak tahu sampai mana Negeri ini akan rusak dan kapan Negeri ini akan bebas dari kejahatan-kejahatan tersebut. Namun bukan berarti tidak ada jalan untuk menetralisir Negeri ini dari masalah-masalah besar tersebut. Masih banyak jalan keluar untuk membuat Negeri ini lebih tertata, aman, dan tentram. Semoga dengan banyaknya Sumber Daya Manusia di Indonesia bisa dimanfaatkan potensinya untuk membersihkan permasalahan-permasalahan tersebut sehingga Indonesia bebas dari “Pencemaran” yang mengakibatkan Indonesia semakin terpuruk di kancah Asia maupun Dunia.
(Oleh : Deaska E. Satya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar